Karena tekanan politik pemerintah kolonial, sekolah anak-anak miskin yang lebih bernuansa agama Islam memisahkan diri dan terkotak dalam kubu tersendiri. Inilah akar utama pola pemikiran yang bertentangan yang masih terus tertanam dan menjadi pemahaman yang sulit dihilangkan dalam praktik pengelolaan lembaga pendidikan kita. Meskipun telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan, Menteri Agama, dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah yang merupakan bagian dari usaha untuk menghilangkan pertentangan pendidikan di Indonesia, secara kelembagaan masih berjalan terus. Inilah yang menjadi penyebab utama kesenjangan pendidikan dengan segala akibat yang ditimbulkannya.
Meski demikian, dalam konteks paradigma pendidikan nasional dewasa ini, perlu kembali ditegaskan bahwa pemahaman pertentangan seperti itu sudah tidak layak lagi dibiarkan berkembang. Adanya konsep kesetaraan dan keseimbangan, bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan diselenggarakan oleh masyarakat sama-sama berhak mendapatkan perhatian dan memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu dan sistemik. Dengan demikian, tidak ada istilah satuan pendidikan plat merah (negeri) atau plat kuning (swasta) dalam sistem pengelolaan pendidikan.
Dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan, jelas dinyatakan pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (pasal 4). Artinya, pemahaman dikotomis antara pendidikan daratan-kepulauan dan pendidikan kota-desa telah terhapuskan dengan sendirinya. Bahkan, sistem pendidikan nasional telah memberikan keseimbangan antara posisi iman, ilmu, dan amal (shaleh), yang tecermin dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional di mana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya harus dipadukan menjadi satu.Pemahaman tentang pendidikan umum dan pendidikan agama juga sudah tidak ada dalam konteks paradigma pengembangan pendidikan. Pemahaman dualisme sistem pendidikan adalah konservatif yang perlu kita luruskan bersama untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu, khususnya di daerah tertinggal (pedalaman).
Ini tugas utama dan pertama yang perlu kita lakukan untuk mencerahkan pola pikir masyarakat di daerah terpencil terhadap keberadaan lembaga pendidikan agar tidak merasa diperlakukan sebagai anak tiri dan merasa termarginalkan secara sosial dan politis ketika menyelenggarakan satuan pendidikan.Para pengelola lembaga pendidikan di daerah perdesaan (termasuk lembaga swasta) harus mampu melakukan terobosan cerdas dan prospektif agar produk pendidikan bisa lebih berkualitas. Pola dikotomi pendidikan memang sudah tidak ada, tetapi di daerah tertinggal praktiknya masih berjalan.Kualitas potensi anak didik itu tidak ditentukan oleh letak dan posisi lembaga pendidikan, apakah di kota ataupun di desa. Ketika terjadi kesenjangan di antara dua lembaga yang letaknya beda tersebut, itu hanya karena kemampuan SDM pengelola pendidikannya yang beda.
Walaupun sudah ada upaya dari pemerintah mengirimkan guru-guru berpotensi ke daerah, masih belum bisa bekerja secara maksimal karena tidak didukung oleh fasilitas, sarana, dan prasarana memadai. Ini terjadi karena kesadaran masyarakat daerah tertinggal terhadap pendidikan masih rendah, di samping peran masyarakat juga masih rendah.
Ada beberapa solusi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal.
Pertama, meningkatkan SDM pengelola pendidikan untuk bisa membaca keunggulan lokal. Hal ini dimaksudkan agar pengelola pendidikan dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal tanpa harus pesimistis dengan kemajuan dunia global.Penyelenggaraan sistem pendidikan yang demikian akan melahirkan lulusan yang siap mengembangkan potensi daerahnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Tetapi tetap harus diupayakan berorientasi dan bekerja secara global melalui pemanfaatan jaringan teknologi informasi.
Kedua, membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kualitas pendidikan. Proses penyadaran ini sebagaimana dinyatakan Willian A Smith merupakan proses internal, psikologis, dan perubahan paradigma bagaimana individu memahami dunia mereka, termasuk pentingnya pendidikan bermutu. Stake holders pendidikan harus bersama lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Ketiga, memaksimalkan desentralisasi pendidikan (otonomi sekolah). Sudah saatnya lembaga pendidikan dituntut mandiri, bebas, dan memiliki ciri khas pengelolaan pendidikan yang berbasis sekolah dengan mengembangkan diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik berdasarkan potensi daerah sehingga segala sumber daya (manusia, sarana, media, sumber alam, dan fasilitas lain) yang ada di sekitar sekolah mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan sekolah yang lebih efektif dan efisien
"PENDIDIKAN DISINI NG BANYAK BERUBAH SEPERTI PENDIDIKAN DI ERA PARA PENJAJAH"