Selasa, 25 Mei 2010

KEMANA PENDIDIKAN QTA

Sorotan terhadap lemahnya mutu dan eksistensi lembaga pendidikan di masyarakat pinggiran (daerah tertinggal) dari lembaga pendidikan yang tergolong maju (di daerah perkotaan) merupakan titik keadaan atau kejadian dari pemahaman masyarakat Indonesia yang masih cenderung bertentangan terhadap keberadaan lembaga pendidikan. Hal ini terjadi karena pemahaman seperti itu hampir mengakar kuat pada seluruh bangsa Indonesia akibat dari sistem pendidikan yang diwariskan kolonial Belanda yang lebih memprioritaskan anak bangsawan dan saudagar dan memarginalisasikan anak-anak orang miskin pribumi dalam lembaga sekolah yang didirikannyaKeberadaan madrasah atau pondok pesantren yang telah lebih dulu berdiri akhirnya menjadi pilihan orang miskin pribumi. Lembaga-lembaga ini sangat berbeda coraknya dari sekolah (bentukan Belanda) yang lebih menekankan pada ilmu modern, seperti ilmu bumi, biologi,sosiologi dan ilmu keduniaan lain.

Karena tekanan politik pemerintah kolonial, sekolah anak-anak miskin yang lebih bernuansa agama Islam memisahkan diri dan terkotak dalam kubu tersendiri. Inilah akar utama pola pemikiran yang bertentangan yang masih terus tertanam dan menjadi pemahaman yang sulit dihilangkan dalam praktik pengelolaan lembaga pendidikan kita. Meskipun telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan, Menteri Agama, dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah yang merupakan bagian dari usaha untuk menghilangkan pertentangan pendidikan di Indonesia, secara kelembagaan masih berjalan terus. Inilah yang menjadi penyebab utama kesenjangan pendidikan dengan segala akibat yang ditimbulkannya.

Meski demikian, dalam konteks paradigma pendidikan nasional dewasa ini, perlu kembali ditegaskan bahwa pemahaman pertentangan seperti itu sudah tidak layak lagi dibiarkan berkembang. Adanya konsep kesetaraan dan keseimbangan, bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan diselenggarakan oleh masyarakat sama-sama berhak mendapatkan perhatian dan memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu dan sistemik. Dengan demikian, tidak ada istilah satuan pendidikan plat merah (negeri) atau plat kuning (swasta) dalam sistem pengelolaan pendidikan.

Dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan, jelas dinyatakan pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (pasal 4). Artinya, pemahaman dikotomis antara pendidikan daratan-kepulauan dan pendidikan kota-desa telah terhapuskan dengan sendirinya. Bahkan, sistem pendidikan nasional telah memberikan keseimbangan antara posisi iman, ilmu, dan amal (shaleh), yang tecermin dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional di mana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya harus dipadukan menjadi satu.Pemahaman tentang pendidikan umum dan pendidikan agama juga sudah tidak ada dalam konteks paradigma pengembangan pendidikan. Pemahaman dualisme sistem pendidikan adalah konservatif yang perlu kita luruskan bersama untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu, khususnya di daerah tertinggal (pedalaman).

Ini tugas utama dan pertama yang perlu kita lakukan untuk mencerahkan pola pikir masyarakat di daerah terpencil terhadap keberadaan lembaga pendidikan agar tidak merasa diperlakukan sebagai anak tiri dan merasa termarginalkan secara sosial dan politis ketika menyelenggarakan satuan pendidikan.Para pengelola lembaga pendidikan di daerah perdesaan (termasuk lembaga swasta) harus mampu melakukan terobosan cerdas dan prospektif agar produk pendidikan bisa lebih berkualitas. Pola dikotomi pendidikan memang sudah tidak ada, tetapi di daerah tertinggal praktiknya masih berjalan.Kualitas potensi anak didik itu tidak ditentukan oleh letak dan posisi lembaga pendidikan, apakah di kota ataupun di desa. Ketika terjadi kesenjangan di antara dua lembaga yang letaknya beda tersebut, itu hanya karena kemampuan SDM pengelola pendidikannya yang beda.

Walaupun sudah ada upaya dari pemerintah mengirimkan guru-guru berpotensi ke daerah, masih belum bisa bekerja secara maksimal karena tidak didukung oleh fasilitas, sarana, dan prasarana memadai. Ini terjadi karena kesadaran masyarakat daerah tertinggal terhadap pendidikan masih rendah, di samping peran masyarakat juga masih rendah.

Ada beberapa solusi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal.

Pertama, meningkatkan SDM pengelola pendidikan untuk bisa membaca keunggulan lokal. Hal ini dimaksudkan agar pengelola pendidikan dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal tanpa harus pesimistis dengan kemajuan dunia global.Penyelenggaraan sistem pendidikan yang demikian akan melahirkan lulusan yang siap mengembangkan potensi daerahnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Tetapi tetap harus diupayakan berorientasi dan bekerja secara global melalui pemanfaatan jaringan teknologi informasi.

Kedua, membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kualitas pendidikan. Proses penyadaran ini sebagaimana dinyatakan Willian A Smith merupakan proses internal, psikologis, dan perubahan paradigma bagaimana individu memahami dunia mereka, termasuk pentingnya pendidikan bermutu. Stake holders pendidikan harus bersama lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Ketiga, memaksimalkan desentralisasi pendidikan (otonomi sekolah). Sudah saatnya lembaga pendidikan dituntut mandiri, bebas, dan memiliki ciri khas pengelolaan pendidikan yang berbasis sekolah dengan mengembangkan diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik berdasarkan potensi daerah sehingga segala sumber daya (manusia, sarana, media, sumber alam, dan fasilitas lain) yang ada di sekitar sekolah mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan sekolah yang lebih efektif dan efisien

"PENDIDIKAN DISINI NG BANYAK BERUBAH SEPERTI PENDIDIKAN DI ERA PARA PENJAJAH"


Senin, 10 Mei 2010

History cultur"megibung"in the karangasem city


Setelah usai upacara adat, beberapa kelompok orang duduk bersila dan membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran terhidang gundukan nasi beserta lauk pauk di atas nampan. Mereka makan sesuap demi sesuap dengan tertib. Acara makan diselingi obrolan-obrolan ringan. Inilah budaya makan ala Karangasem, Bali, yang disebut megibung.

Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura.

Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang (alas makan dari tanah liat atau kayu) yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi. Gundukan nasi dalam porsi besar ditaruh di atas nampan dan lauk pauk ditaruh dalam wadah khusus. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.

Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.

Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap. Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.

Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang. Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan. Di beberapa tempat, selesai megibung biasanya dilanjutkan dengan acara minum tuak.

“Aturan megibung di setiap tempat di Karangasem biasanya berbeda-beda sesuai desa (wilayah), kala (waktu), patra (kondisi) setempat. Aturan megibung di Lombok bahkan lebih ketat, seperti jaman kerajaan dulu,”

Biasanya setiap usai acara megibung selalu ada makanan sisa. Dulu, makanan sisa ini dikumpulkan oleh para fakir miskin yang berasal dari daerah-daerah tandus dan miskin di Karangasem. “Sekarang hampir tidak ada lagi orang yang mau mengumpulkan makanan sisa megibung. Biasanya makanan sisa tersebut diberikan kepada tetangga untuk makanan babi,”

Megibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam megibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi bhoga (hidangan) sebagai berkah Hyang Widhi. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.

“Orang-orang yang tidak terbiasa megibung atau yang fanatik dengan kasta akan susah mengikuti acara makan ini jika kebetulan diundang menghadiri upacara adat atau agama,

Tradisi megibung tidak hanya dilakukan oleh orang Karangasem dan Lombok yang beragama Hindu. Komunitas Muslim di Karangasem, seperti Kecicang, Saren Jawa dan Tohpati, juga biasa menggelar acara megibung. Tentu lauk pauknya tidak menggunakan daging babi. Menurut kaum muslimin yang berasal dari Kecicang, megibung dalam komunitas Muslim biasanya berkaitan dengan acara pernikahan, sunatan, Lebaran, Maulud Nabi dan acara-acara bernafaskan Islam lainnya. “Kami juga biasa mengundang tetangga-tetangga Hindu-Bali untuk ikut megibung,

Bahkan untuk melestarikan tradisi megibung, Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg, pernah menggelar acara megibung massal pada 26 Desember 2006 di Taman Sukasada, Ujung, Karangasem. Megibung massal yang tercatat dalam rekor MURI itu diikuti oleh 20.520 orang dari berbagai lapisan dan komponen masyarakat di wilayah Karangasem dan ratusan undangan lainnya.

Minggu, 09 Mei 2010

SEJARAH KAB.KARANGASEM DAN KOTA AMLAPURA


Sebelum tahun 1908 Kabupaten Karangasem merupakan wilayah kerajaan di bawah kekuasaan raja-raja. Tercatat raja yang terakhir sampai tahun 1908 adalah Ida Anak Agung Gde Djelantik yang membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen dan Talibeng.

Setelah Belanda menguasai Karangasem, terhitung mulai tanggai 1 Januari 1909 dengan Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 28 Desember 1908 No. 22, Kerajaan Karangasem dihapuskan dan dirubah menjadi Gauverments Lanschap Karangasem di bawah Pimpinan I Gusti Gde Djelantik (Anak angkat Raja Ida Anak Agung Gde Djelantik) yang memakai gelar Stedehouder. Jumlah kepunggawaan pada saat itu diciutkan dari 21 menjadi 14, yaitu Karangasem, Bugbug, Ababi, Abang, Kubu, Manggis, Antiga, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Pesangkan Selat, Muncan, Rendang dan Sidemen.

Dengan Keputusan Gubernur Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921 No. 27 Stbl No. 756 tahun 1921 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, Gouvernements Lanschap Karangasem dihapuskan, dirubah menjadi daerah otonomi, langsung di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, terbentuklah Karangasem Raad yang diketuai oleh Regent I Gusti Agung Bagus Djelantik, yang umum dikenal sebagai Ida Anak Agung Bagus Djelantik, sedangkan sebagai Sekretaris dijabat oleh Controleur Karangasem.

Sebagai Regent Ida Anak Agung Bagus Djelantik masih mempergunakan gelar Stedehouder. Jumlah Punggawa yang sebelumnya berjumlah 14 buah dikurangi lagi sehingga menjadi 8 buah, yaitu : Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, Kubu. Dengan Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 4 September 1928 No. I gelar Stedehouder diganti dengan gelar Ida Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem.

Dengan Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1938 No. 1 terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 beliau diangkat menjadi Zelfbesteur Karangasem (terbentuknya swapraja). Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbesteur Karangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah Zelfbesteur - Zelfbesteur di seluruh Bali, yaitu Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana dan Buleleng, dimana swapraja-swapraja (Zelfbesteur) tersebut tergabung menjadi federasi dalam bentuk Paruman Agung.

Pada atahun 1942 Jepang masuk ke Bali, Paruman Agung diubah menjadi Sutyo Renmei. Pada tahun 1946 setelah Jepang menyerah, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Swapraja di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang Raja.

Pada bulan Oktober 1950, Swapraja Karangasem berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian. Pada tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja diubah menjadi Daerah Tingkat II Karangasem.

Sejarah Singkat Kota Amlapura

Menurut Pebancangah Babad Dalem, bahwa semenjak bertahta Raja I Dewa Karang Amla, Wilayah Kota Amlapura ini disebut Desa Batuaya. Kemudian tahta berganti sampai masa raja Ida Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, yang istananya di Puri Amlaraja, pada saat itu sebutan Karangasem sudah dipakai, yang dalam hal ini dikukuhkan oleh Piagam Pura Bukit. Dengan bertahtanya Raja Anak Agung Gde Putu dan Anak Agung Gde Oka, Awig-Awig Desa Batuaya diubah menjadi Awig-Awig Amlapura. Kemudian dibawah pemerintahan Anak Agung Gde Jelantik, sebutan Wilayah Kota Amlapura ini kembali disebut Karangasem sebagai suatu pusat pemerintahan.

Dengan Keputusan Mentri Dalam Negeri (Mendagri) tertanggal 28 November 1970 No. 284 tahun 1970, terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Ibu Kota Karangasem diubah menjadi Amlapura, kembali sebagai nama Kerajaan Karangasem yang bertahta di Kota Karang Amla (Amla berarti Asem).

Riwayat Singkat Lahirnya Nama Amlapura

Pada saat itu semenjak terjadi penyerahan kekuasaan kerajaan Karangasem dari pemegang tampuk kekuasaan Raja Batuaya kepada pihak Puri Karangasem, merupakan masa peralihan dari sistim kerajan kepada sistem Pemerintahan Republik, dimana wilayah Kota Amlapura sekarang bernama Amlanegantun.

Mula-mula Ibu Kota Karangasem masih berpusat dengan nama Karangasem pula. Mengingat beberapa Kabupaten di Bali sudah memiliki Ibu Kota seperti Buleleng dengan Kota Singaraja - Singa Ambararaja, Jembrana dengan Kota Negara, Badung dengan Ibu Kota Denpasar, maka dicarilah upaya untuk mencari nama terbaik Ibu Kota Karangasem.

Anak Agung Gde Karang yang menjadi Bupati saat itu berkonsultasi dengan Ketua DPRD Ida Wayan Pidada, hingga menemukan nama Amlepure (Amlapura) yang artinya, Amla berarti buah-buahan, sebagaimana layaknya daerah Karangasem yang memiliki potensi buah-buahan yang sangat beragam, buah apapun yang ada di Bali di Karangasem pun ada. Dari asal nama wilayah Amlanegantun dan sebagai pusat buah-buahan yang beragam, maka lahirlah nama Amlapura (Pura = tempat, Amla =buah).

Nama Amlapura akhirnya diresmikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem dengan turunnya Kep. Mendagri tanggal 28 Nopember 1970 No. 284 tahun 1970, dan terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Kota Karangasem sebagai Ibu Kota Dati II diubah menjadi Amlapura, bersamaan dengan Upacara Pembukaan Selubung Monument Lambang Daerah, oleh Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) XV Bali, sebagai Panji kebanggaan Kabupaten Karangasem di Lapangan Tanah Aron. Dan yang menggembirakan saat itu Kabupaten Karangasem menerima penghargaan Sertifikat dan Tropy Patung dan hadiah berupa uang Rp. 200,00 sebagai Kabupaten Terbersih di Bali. Kini Karangasem pada peringatan hut Kota Amlapura ke-39 juga menjadi Kota Terbersih tidak hanya se-Propinsi Bali tetapi se-Indonesia dengan meraih Trophy Adipura.

Lambang Daerah diambil dari simbol Gunung Agung yang mengepulkan asap dengan membentuk Pulau Bali dengan Tugu Pahlawan di tengah, dikelilingi padi dan kapas menandakan simbol kemakmuran Gunung Agung dengan Pura Besakih sebagai pusat ritual umat Hindhu serta memiliki sejarah sebagai daerah perjuangan, murah sandang pangan, gemah ripah loh jinawi berkat lahar Gunung Agung.Sedangkan garis merah merupakan simbol Karangasem ngemong Pura Kiduling Kreteg di Besakih.


Minggu, 02 Mei 2010

history mosque baiturrahman in the chi_cank village


Kecicang merupakan sebuah dusun yang terbagi menjadi dua yaitu Kecicang Bali (Banjar Bali) dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Kecicang Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dusun ini terletak di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali.

Sebuah masjid berdiri megah di tengah perkampungan Kecicang Islam yang diperkirakan sudah ada sejak akhir abad 17 M - awal abad 18 M. Perkiraan tersebut didasarkan pada kekalahan kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah pada tahun 1692 sehingga terjadi perpindahan penduduk Islam dari Lombok menuju Karangasem sebagai tentara kerajaan Karangasem. Pada tahun 1740, keseluruhan Pulau Lombok berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Karangasem sehingga semakin memperbesar jumlah komunitas Islam di daerah tersebut. Selain Kampung Kecicang, komunitas Islam mendirikan perkampungan di luar pusat kerajaan sebagai pasukan penjaga antara lain di Kampung Ujung Desa, Ujung Sumbawa, Segara Katon, Dangin Sema, Nyuling, Tihing Jangkrik, Kampung Anyar, Karang Sasak, Bukit Tambuhan, Tibulake, Sasak, Karang Cermen, Bangras, Karang Langko, Karang Tohpati, Karang Ampel, Gerembeng, Karang tebu, Jeruk Manis, Gelumpang Sari, Karang Sokong, Telaga Mas, Kedaton, Saren Jawa dan Sindu.

Pada masjid Baiturrahman terdapat kekunaan arkeologi berupa kolam air yang mengelilingi bangunan masjid. Kolam merupakan simbol pembersihan diri (untuk jiwa dan raga) sebelum memasuki bangunan masjid. Sehingga pembangunan kolam sering fungsinya digabungkan dengan tempat berwudlu. Dalam mitos Hindu, bangunan disimbolkan sebagai gunung kehidupan (girimandala) dan kolam disimbolkan sebagai lautan (samudramantana).

Bentuk bangunan masjid berdenah bujur sangkar dengan atap tumpang tiga. Atap tumpang merupakan ciri khas masjid lama yang berkembang di nusantara, dan merupakan adopsi dari bangunan tradisional. Atap tumpang juga sudah digunakan masyarakat Hindu untuk bangunan meru di pura pada masa sebelumnya. Dinding masjid dibuat dari tembok dengan pintu dan jendela yang besar dan banyak sehingga pengaruh arsitektur Belanda terlihat pada bagian ini.

Kekunaan mimbar masjid juga terlihat dari ukiran geometris dan sulur-suluran tumbuhan. Mimbar bagian depan terdapat hiasan kurawal berupa motif sulur floris (tumbuhan) yang dianggap sebagai prototipe (penyamaran) kala makara pada masa Hindu. Masyarakat Bali menyebut hiasan tersebut dengan istilah "patra". Patra Olanda (mendapat pengaruh motif dedaunan Belanda) merupakan patra yang dipahatkan pada mimbar tersebut dan motif ini banyak dipahatkan pada hiasan istana (puri) atau rumah bangsawan di Bali.

Bangunan Masjid Baiturrahman Kecicang Islam merupakan salah satu khasanah budaya Islam di tengah budaya Hindu yang perlu dipertahankan keasliannya, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk menelusuri sejarah perkembangan arsitektur Islam di Bali.